Minggu, 20 September 2015

PROFESI KEPENDIDIKAN (Tugas 4)



Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan di Indonesia. Konsep pendidikannya menekankan peran guru sebagai pemimpin dalam kelas serta pentingnya pengolahan potensi-potensi peserta didik.  Dalam penerapannya, konsep Ki Hajar Dewantara tersebut menyangkut upaya memahami dan menganyomi kebutuhan peserta didik sebagai subyek pendidikan. Jelasnya, konsep tersebut mengarah kepada pendidikan karakter yang menjadi tujuan utama system pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu dihayati dan diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca, peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter. Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977: 24).
Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budi pekerti” atau watak atau dalam bahasa asing disebut “karakter” yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.
Budipekerti, watak, atau karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti pikiran – perasaan – kemauan, sedang “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma sebagai tenaga. Dengan “budipekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan. Jadi teranglah di sini bahwa pendidikan itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti “naturaliseeren” (menutupi, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali, karena sudah bersatu dengan jiwa.
Dalam pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri handayani (MLPTS, 1992: 19-20).

a. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989: 47). Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai among atau pendidik adalah orang yang lebih 13

berpengetahuan dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.

b. Ing Madya Mangun Karsa
Mangun karsa berarti membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat, hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.

c. Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang. Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.
Sistem pendidikan yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara juga merupakan warisan luhur yang patut diimplementasikan dalam perwujudan masyarakat yang berkarakter. Jika para pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak bangsa yang berkarakter, semua kita tentu akan terus mengedepankan keteladanan dalam segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka karakter religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.
Begitu pula jika kita sadar bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan arahan pendidik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator yang baik. Sebab dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter kreatif, mandiri, menghargi prestasi, dan pemberani peserta didik akan terbentuk dengan baik.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia konsep yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara di atas, sebenarnya merupakan landasan atau acuan untuk menjadi guru yang efektif. Pendidikan pada dasarnya adalah proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi diri (kognisi, afeksi, psikomotorik, konatif, kehidupan sosial dan spiritual). Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya dan lingkungan sosialnya. Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus dihormati hak-haknya untuk dapat tumbuh menurut kodratnya.
Terdapat bebrapa karakteristik untuk menjadi guru yang efektif bagi muridnya,. Suyanto dan Hisyam (2000) mengemukakan tentang beberapa kemampuan guru yang mencerminkan guru yang efektif, yaitu:
1. Kemampuan yang terkait dengan iklim kelas, terdiri dari:
· memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan;
·       memiliki hubungan baik dengan siswa;
·       secara tulus menerima dan memperhatikan siswa;
·      menunjukkan minat dan antusiasme yang tinggi dalam mengajar;
·   mampu menciptakan atmosfer untuk bekerja sama dan kohesivitas dalam kelompok;
·  melibatkan siswa dalam mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran;
·    mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara dalam setiap diskusi; dan
·        meminimalkan friksi-friksi di kelas jika ada.
2. Kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen, terdiri dari:
·   memiliki kemampuan secara rutin untuk mengahadapi siswa yang tidak memperhatikan, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan transisi dalam mengajar; serta
·       mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan berfikir yang berbeda.
3. Kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan (reinforcement), terdiri dari:
·       mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa;
·    mampu memberikan respon yang membantu kepada siswa yang lamban belajar;
·     mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban yang kurang memuaskan; dan
·     mampu memberikan bantuan kepada siswa yang diperlukan.
4. Kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari:
·        mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif;
·      mampu memperluas dan menambah pengetahuan metode-metode pengajaran; dan
·   mampu memanfaatkan perencanaan kelompok guru untuk menciptakan metode pengajaran.
Pada hakekatnya konsep Ki Hajar Dewantara sudah mencakup semua kriteria untuk menjadi guru yang efektif. Namun seiring berkembangnya zaman konsep pemikiran manusia mengenai pendidikanpun ikut berkembang. Perubahan – perubahan kurikulum yang terus menerus terjadi malah membuat para pendidik semakin bingung sehingga pendidikan karakter sudah tidak diperhatikan lagi. Guru harus bisa menjadi sahabat dan sekaligus teman bagi siswa untuk saling berbagi dan memperkaya wawasan pengetahuan. Dalam istilah Ki Hadjar Dewantara, inilah yang disebut metode Among.

Daftar Pustaka
http://langkahkebebasan.blogspot.co.id/p/edukasi.html diakses pada tanggal 19 Sepetember 2015 pukul 13.45 WITA

Haryanto. Penddikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta : Kurikulum dan Teknologi Pendidikan FIP UNY.

Arumi Savitri fatimaningrum (Karakteristik Guru dan Sekolah yang Efektif dalam Pembelajaran) tersedia pada https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CCAQFjABahUKEwik85K92IXIAhVRBI4KHQkiDao&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpenelitian%2FArumi%2520Savitri%2520Fatimaningrum%2C%2520S.Psi.%2C%2520M.A.%2FJurnal%2520TP_Guru%2520yang%2520Efektif_Arumi%2520SF.pdf&usg=AFQjCNEI8vwn3db2ngFY9RqJ93l2imnFgQ&sig2=B8yKvuCt7q-wionjqpN8TQ&bvm=bv.103073922,d.c2E&cad=rja

Samho, Bartolomeus, dkk. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Tantangan – Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Bandung : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar