Pemikiran Ki Hadjar
Dewantara mengenai pendidikan telah menjadi citra tersendiri bagi sejarah
pendidikan di Indonesia. Konsep pendidikannya menekankan peran guru sebagai
pemimpin dalam kelas serta pentingnya pengolahan potensi-potensi peserta didik.
Dalam penerapannya, konsep Ki Hajar
Dewantara tersebut menyangkut upaya memahami dan menganyomi kebutuhan peserta
didik sebagai subyek pendidikan. Jelasnya, konsep tersebut mengarah kepada
pendidikan karakter yang menjadi tujuan utama system pendidikan di Indonesia.
Pendidikan karakter adalah upaya yang
terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga
peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan pendidikan
karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di
sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan
seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Adapun nilai-nilai yang perlu
dihayati dan diamalkan oleh guru saat mengajarkan mata pelajaran di sekolah
adalah: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kerja cerdas,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, senang membaca,
peduli sosial, peduli lingkungan, dan tanggung jawab.
Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam
masalah pendidikan karakter. Mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena
dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan
kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas
hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan
nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli (bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan
lain-lain) (Ki Hadjar Dewantara dalam Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa: 1977:
24).
Selanjutnya Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang
dinamakan “budi pekerti” atau watak atau dalam bahasa asing disebut “karakter”
yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum
kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan
dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan,
dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya
orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau
budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.
Budipekerti, watak, atau
karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak
atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti
pikiran – perasaan – kemauan, sedang “pekerti” itu artinya “tenaga”. Jadi
“budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia, mulai angan-angan hingga terjelma
sebagai tenaga. Dengan “budipekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia
merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri
(mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan
itulah maksud dan tujuan pendidikan. Jadi teranglah di sini bahwa pendidikan
itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia,
baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat
dilenyapkan, maupun dalam arti “naturaliseeren” (menutupi, mengurangi)
tabiat-tabiat jahat yang “biologis” atau yang tak dapat lenyap sama sekali,
karena sudah bersatu dengan jiwa.
Dalam
pelaksanaan pendidikan, Ki Hadjar Dewantara menggunakan “Sistem Among” sebagai perwujudan konsepsi
beliau dalam menempatkan anak sebagai sentral proses pendidikan. Dalam Sistem
Among, maka setiap pamong sebagai pemimpin dalam proses pendidikan diwajibkan
bersikap: Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri
handayani (MLPTS, 1992: 19-20).
a. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing ngarsa berarti di depan, atau orang yang lebih
berpengalaman dan atau lebih berpengatahuan. Sedangkan tuladha berarti
memberi contoh, memberi teladan (Ki Muchammad Said Reksohadiprodjo, 1989: 47).
Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai among atau
pendidik adalah orang yang lebih 13
berpengetahuan
dan berpengalaman, hendaknya mampu menjadi contoh yang baik atau dapat
dijadikan sebagai “central figure” bagi siswa.
b. Ing Madya Mangun Karsa
Mangun karsa berarti
membina kehendak, kemauan dan hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan
umum, kepada cita-cita yang luhur. Sedangkan ing madya berarti di
tengah-tengah, yang berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara
harmonis dan terbuka. Jadi ing madya mangun karsa mengandung makna bahwa
pamong atau pendidik sebagai pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan minat,
hasrat dan kemauan anak didik untuk dapat kreatif dan berkarya, guna mengabdikan
diri kepada cita-cita yang luhur dan ideal.
c. Tutwuri Handayani
Tutwuri berarti
mengikuti dari belakang dengan penuh perhatian dan penuh tanggung jawab
berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari pamrih dan jauh dari sifat authoritative,
possessive, protective dan permissive yang sewenang-wenang.
Sedangkan handayani berarti memberi kebebasan, kesempatan dengan
perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas inisiatif sendiri dan
pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut garis kodrat pribadinya.
Sistem pendidikan yang
dikemukakan Ki Hadjar Dewantara juga merupakan warisan luhur yang patut
diimplementasikan dalam perwujudan masyarakat yang berkarakter. Jika para
pendidik sadar bahwa keteladanan adalah upaya nyata dalam membentuk anak bangsa
yang berkarakter, semua kita tentu akan terus mengedepankan keteladanan dalam
segala perkataan dan perbuatan. Sebab dengan keteladanan itu maka karakter
religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, cinta damai, peduli sosial, dan
karakter lain tentu akan berkembang dengan baik.
Begitu pula jika kita sadar
bahwa berkembangnya karakter peserta didik memerlukan dorongan dan arahan
pendidik, sebagai pendidik tentu kita akan terus berupaya menjadi motivator
yang baik. Sebab dengan dorongan dan arahan pendidik maka karakter kreatif,
mandiri, menghargi prestasi, dan pemberani peserta didik akan terbentuk dengan
baik.
Dalam konteks pendidikan
di Indonesia konsep yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara di atas,
sebenarnya merupakan landasan atau acuan untuk menjadi guru yang efektif. Pendidikan
pada dasarnya adalah proses mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang
dalam potensi-potensi diri (kognisi, afeksi, psikomotorik, konatif, kehidupan
sosial dan spiritual). Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan,
tapi memberi pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya
dan lingkungan sosialnya. Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala
anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak
bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks
penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus
dihormati hak-haknya untuk dapat tumbuh menurut kodratnya.
Terdapat bebrapa
karakteristik untuk menjadi guru yang efektif bagi muridnya,. Suyanto dan Hisyam (2000) mengemukakan tentang beberapa
kemampuan guru yang mencerminkan guru yang efektif, yaitu:
1. Kemampuan yang terkait dengan iklim kelas, terdiri dari:
· memiliki kemampuan interpersonal, khususnya kemampuan untuk
menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan ketulusan;
·
memiliki hubungan baik dengan siswa;
· secara tulus menerima dan
memperhatikan siswa;
· menunjukkan minat dan
antusiasme yang tinggi dalam mengajar;
· mampu menciptakan atmosfer untuk bekerja sama dan kohesivitas
dalam kelompok;
· melibatkan siswa dalam
mengorganisasikan dan merencanakan kegiatan pembelajaran;
· mampu mendengarkan siswa dan menghargai hak siswa untuk berbicara
dalam setiap diskusi; dan
· meminimalkan friksi-friksi
di kelas jika ada.
2. Kemampuan yang terkait
dengan strategi manajemen, terdiri dari:
· memiliki kemampuan secara rutin untuk mengahadapi siswa yang tidak
memperhatikan, suka menyela, mengalihkan pembicaraan, dan mampu memberikan
transisi dalam mengajar; serta
· mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan tingkatan
berfikir yang berbeda.
3. Kemampuan yang terkait
dengan pemberian umpan balik dan penguatan (reinforcement), terdiri
dari:
·
mampu memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa;
· mampu memberikan respon yang membantu kepada siswa yang lamban
belajar;
· mampu memberikan tindak lanjut terhadap jawaban yang kurang
memuaskan; dan
·
mampu memberikan bantuan kepada siswa yang diperlukan.
4. Kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri, terdiri dari:
·
mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara inovatif;
· mampu memperluas dan menambah pengetahuan metode-metode
pengajaran; dan
· mampu memanfaatkan perencanaan kelompok guru untuk menciptakan
metode pengajaran.
Pada
hakekatnya konsep Ki Hajar Dewantara sudah mencakup semua kriteria untuk
menjadi guru yang efektif. Namun seiring berkembangnya zaman konsep pemikiran
manusia mengenai pendidikanpun ikut berkembang. Perubahan – perubahan kurikulum
yang terus menerus terjadi malah membuat para pendidik semakin bingung sehingga
pendidikan karakter sudah tidak diperhatikan lagi. Guru harus bisa menjadi
sahabat dan sekaligus teman bagi siswa untuk saling berbagi dan memperkaya
wawasan pengetahuan. Dalam istilah Ki Hadjar Dewantara, inilah yang disebut
metode Among.
Daftar Pustaka
http://langkahkebebasan.blogspot.co.id/p/edukasi.html
diakses pada tanggal 19 Sepetember 2015 pukul 13.45 WITA
Haryanto. Penddikan
Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta : Kurikulum
dan Teknologi Pendidikan FIP UNY.
Arumi Savitri
fatimaningrum (Karakteristik Guru dan Sekolah yang Efektif dalam Pembelajaran)
tersedia pada https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CCAQFjABahUKEwik85K92IXIAhVRBI4KHQkiDao&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpenelitian%2FArumi%2520Savitri%2520Fatimaningrum%2C%2520S.Psi.%2C%2520M.A.%2FJurnal%2520TP_Guru%2520yang%2520Efektif_Arumi%2520SF.pdf&usg=AFQjCNEI8vwn3db2ngFY9RqJ93l2imnFgQ&sig2=B8yKvuCt7q-wionjqpN8TQ&bvm=bv.103073922,d.c2E&cad=rja
Samho,
Bartolomeus, dkk. 2010. Konsep Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Tantangan –
Tantangan Implementasinya di Indonesia Dewasa Ini. Bandung : Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar