Sabtu, 19 April 2014

PENTINGNYA SENI RUPA BAGI ANAK


Penting gak sih seni rupa buat anak-anak ?

            Pertanyaan tersebut muncul sejak saya menyadari bahwa sejak kecil ternyata saya sudah bergelut dengan media maupun dunia seni. Terbukti, seingat saya dulu saat saya kecil, ketika orang tua saya memberikan buku dan pensil hal pertama yang saya lakukan adalah menggores secara bebas pada media buku tersebut. Hal serupapun pernah saya lakukan kepada adik saya, dan dia juga melakukan hal yang sama.

Jika ditanya penting atau tidaknya seni rupa bagi anak, maka jawabannya adalah sangat penting. Secara alamiah anak sudah memiliki jiwa seni sejak usia dini, mereka sudah memiliki imajinasi dan bisa mengembangkannya. Anak berumur 1 tahun sudah bisa mencoret-coret apa saja. Ia sudah mulai mencoba menyerap dan mempelajari apa yang ada di sekitarnya. Bisa dikatakan bahwa seni merupakan media bagi anak untuk mengenal dunis secara sederhana. Dengan mencoret-coret saja mereka bisa mengungkapakan apa yang mereka lihat di sekitarnya. Dengan seni pula mereka bisa mengekspresikan pengalaman-pengalaman fantasi mereka.

Sejak usia dini anak memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Prof. Dr. Utami Munandar seorang pakar kreativitas indonesia kapasitas seorang anak pada usia 6 bulan sudah mencapai sekitar 50% dari keseluruhan potensi orang dewasa.

Pada masa ini anak mengalami perkembangan intelektual otak yang sangat cepat. Tingkat perkembangan intelektual anak sejak lahir sampai usia 4 tahun mencapai 50%, oleh karena itu pada masa empat tahun pertama ini sering disebut juga sebagai golden age (masa keemasan). Karena si anak mampu menyerap dengan cepat setiap rangsangan yang masuk. Si anak akan mampu menghafal banyak sekali informasi seperti pembendaharaan kata, nada, bunyi-bunyian dan sebagainya sehingga usia 8 tahun anak telah memiliki tingkat intelektual otak sekitar 80%.

Perkembangan intelektual otak ini relatif berhenti dan mencapai kesempurnaannya pada usia 18 tahun. Jadi setelah usia 18 tahun intelektualitas otak tidak lagi mengalami perkembangan. Oleh karena itu jika para orang tua menyia-nyiakan kesempatan emas pada masa kanak-kanak berarti mereka telah kehilangan satu moment yang sangat baik untuk memberikan landasan bagi pendidikan anak selanjutnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menuangkan daya intelektual yang digabungkan dengan daya imajinasinya adalah melalui menggambar.

Kadang banyak orang tua yang mengeluh dan tidak terlalu memperdulikan masa kecil anaknya, padahal masa kecil merupakan masa yang paling menentukan. Semua kejadian yang dialami pada masa kecil akan terekam dalam ingatan dan akan membekas sampai berumur dewasa bahkan selamanya. Orang tua merupakan salah satu faktor pendorong bagi perkembangan psikologis anak. Terkadang banyak orang tua yang melarang anak mereka mencoret-coret atau menggambar di dinding-dinding, di lantai, dan lain-lain. Bahkan tingkah laku tersebut dibilang nakal, padahal mungkin saja anak-anak tersebut kekurangan media untuk menuangkan imajinasi mereka sehingga mereka memberontak dan bertingkah seolah-olah mereka memang nakal. Hal inilah yang membuat dan mendorong psikologis anak berkembang ke arah yang negatif. Untuk menghindari hal tersebut tidak ada salahnya jika orang tua menyediakan media yang lebih baik agar mereka tidak mencoret-coret di daerah yang tidak seharusnya dicoret.

Tanpa kita sadari, menggambar merupakan media belajar yang paling menyenangkan bagi anak-anak. Hal ini bisa kita lihat ketika anak kecil disodorkan buku bacaan yang berisi gambar dengan buku bacaan yang tidak berisi gambar, mereka pasti lebih tertarik membaca buku cerita yang berisi gambar. Hal itupun saya rasakan sendiri ketika saya masih kecil. Ketika orang tua saya mengajari matematika, saya merasa cepat bosan dan tidak tertarik sama sekali untuk belajar kalau tidak takut karena akan dimarahi, hingga suatu saat kakak saya menagajari saya matematika dengan metode menggambar seperti perhitungan dengan menggunakan gambar bunga-bunga atau gambar hewan saya menjadi lebih tertarik untuk belajar. Hal ini membuktikan bahwa kehidupan seni rupa memang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Menggambar juga merupakan media imajinasi bagi anak, dengan menggambar anak-anak bisa menungkan hasil imajinasi serta keinginan mereka, sehingga anak-anak akan merasa senang dan termotivasi untuk mencapai haisl imajinasi mereka itu sendiri. Anak kecil merupakan imajinator yang sangat hebat. Mereka mamiliki pikiran dan imajinasi yang tidak terbatas, berbeda dengan kita yang sudah dewasa, imajinasi kita tidak akan bisa sebebas imajinasi pada saat kita kecil karena sudah dibatasi oleh logika. Sedangkan anak kecil masih belum memiliki pemikiran logika yang bisa membatasi imajinasi mereka.

Terkadang saya berpikir bahwa saya ingin kembali ke masa anak-anak tersebut dimana semua yang dilakukan masih tidak terbatas oleh logika. Masa di mana saya merasa bebas, merasa tidak tertekan oleh tuntutan kehidupan sehingga yang dipikirkan hanyalah hal-hal yang menyenangkan. Mungkin hal tersebut juga yang mendorong munculnya lukisan beraliran naif dalam seni rupa. Pelukis menuangkan hasil imajinasi mereka dalam bentuk yan sederhana seperti karya anak kecil.

Saya bersyukur karena Allah SWT memberikan jalan kepada saya untuk masuk jurusan seni rupa, karena dengan masuk seni rupa saya bisa mengatahui betapa dekatnya dan betapa pentingnya seni rupa bagi kehidupan kita. Sejak kecil saja kita sudah memiliki jiwa seni, tetapi banyak dari manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Seni rupa merupakan salah satu media yang bisa dijadikan motivator serta media pembelajaran yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. Selain bisa membuat belajar menjadi lebih menyanangkan, seni rupa juga bisa melatih daya imajinasi anak serta melatih kerja otak kanan dan otak kiri agar berjalan lebih seimbang.

Thanks for read it :)

DAFTAR PUSTAKA
 


Jumat, 04 April 2014

MENDOBRAK PAKEM TRADISI



Seni tidak bisa lepas dari kata kreativitas. Seni tanpa sentuhan kreativitas ibarat ”sebuah bangunan yang tak terawat,” dan lama kelamaan ia hanya sebagai ”ruang kosong” yang tak mampu lagi memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia. Demikian pula, seni tanpa nilai-nilai ibarat ”sebuah intan permata yang tertutup debu,” sehingga ia tak mampu lagi mengeluarkan cahaya terang di saat kegelapan.
PAKEM. Jika mendengar kata ini maka akan terbayang dalam imajinasi kita bahwa kata pakem tersebut identik dengan tradisional atau tradisi, karena pakem muncul karena aturan atau pandangan para leluhur terdahulu kita yang secara turun temurun diikuti oleh generasi-generasi berikutnya. Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada suatu kebiasaan atau prilaku yang didasarkan pada tata aturan atau norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu, nilai dan landasan filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di masyarakatnya. Dalam konteks perkembangan seni rupa di Barat (Eropa), istilah seni rupa tradisional ini menunjukkan pada otoritas penguasa agama (gereja), raja dan para bangsawan. Para seniman tradisional menciptakan karya berdasarkan keinginan atau aturan yang telah ditetapkan sesuai ”selera” institusi-institusi tersebut dan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, sepanjang kekuasaan institusi-institusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni tradisional tersebut, dapat dilihat bahwa berbagai karya seni rupa di Indonesia kebanyakan masih terikat oleh pakem tradisi. Karya-karya seni tradisi ini umumnya hidup di lingkungan masyarakat yang masih kuat memegang norma atau adat istiadat yang diwariskan para leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari benda-benda kriya tersebut yang semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda pusaka kini menjadi benda hias atau cindera mata.
       Namun seiring berkembangnya zaman, pakem-pakem yang mengikat tersebut perlahan-lahan hilang walaupun tidak sepenuhnya hilang tetapi dapat dibilang para perupa-perupa jebolan akademis yang bermunculan sudah tidak memerlukan lagi atau bahkan tidak memperhatikan pakem tersebut. Lihat saja banyak pelukis-pelukis yang tidak lagi memperdulikan pakem yang sudah memang sejak dahulu digunakan dalam berkarya seni, misalnya dulu pelukis harus menggunakan kanvas serta cat untuk melukis, namun sekarang melukis tidak harus menggunakan kanvas atau kertas saja. Melukis bisa dilakukan di mana saja, baik itu di tembok, di jalan, maupun media-media yang lain.
          Berangkat dari hal yang sederhana seperti itu saja, sudah dapat kita lihat bahwa perkembangan seni rupa tradisi saat ini tidak lagi terikat oleh pakem-pakem yang dibuat oleh orang-orang zaman dulu. Kita bisa mendobrak pakem-pakem tersebut asal masih dalam konteks yang wajar dan tidak menimbulkan kontroversi serta tidak merusak nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
          Kita tidak bisa memungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami proses perkembangan. Memang tradisi harus kita pertahankan namun di sisi lain kita juga harus mengikuti perkembangan zaman agar tidak ketinggalan terlalu jauh. Sebenarnya banyak orang yang menyalahartikan tentang pendobrakan pakem tradisi yang dilakukan oleh akademisi saat ini. Mereka beranggapan bahwa para akademisi sudah tidak lagi memperdulikan tradisi yang dipertahankan sejak dulu, padahal jika kita teliti lebih jauh para akademisi tidak melupakan tradisi. Mereka hanya merubah sedikit demi sedikit tradisi tersebut. Hal ini yang kemudian dikenal dengan proses kreativitas.
          Pada dasarnya manusia tidak bisa mencipta, manusia hanya meniru apa yang sudah ada dan sudah diciptakan di bumi. Namun, banyak orang menyalahartikan kata kreatif, di mana kreatif selalu diartikan sebagai prosen penciptaan sesuatu yang baru. Hal ini yang menyebabkan kebanyakan orang berfikir bahwa seni rupa modern sudah tidak lagi mengenal pekem tradisi. Padahal pakem tradisi tersebut tetap ada, hanya saja diubah sedikit demi sedikit.
          Tidak dapat kita pungkiri bahwa kehidupan dalam berkesenian tidak bisa terlepas dari kreativitas seniman, respon dari masyarakat serta hasil karya zaman dulu yang menjadi bahan pembanding untuk karya masa depan yang akan dibuat. Oleh karena itu, pakem tradisi memang harus didobrak  namun tetap mempertahankan nilai-nilai yang terkandung didalamnya karena kita sebagai makhluk yang diciptakan dan tidak akan mungkin bisa mencipta, kita hanya bisa meniru dan mengikuti aturan-aturan yang sudah ada serta merubahnya sehingga menjadi sesuatu yang bisa dikatakan baru.

:)
             

Selasa, 01 April 2014

MAJOR ART VS MAIN ART



Dua kata ini mungkin tidak asing lagi bagi para akademisi seni rupa, di mana kehidupan seni rupa di Indonesia selalu mengacu pada teori seni rupa Barat. Teori seni rupa Barat mengenal ada dua golongan dalam seni rupa yaitu Major Art dan Minor Art. Major Art merupakan seni utama sedangkan Minor Art merupakan seni yang dianggap remeh.
Major Art selalu dianggap sebagai pemimpin dari kehidupan seni rupa. Sedangkan Main Art selalu dianggap sebagai pelengkap dari Major Art. Dalam buku Ensiklopedia ada penekanan perbedaan antara Majot art dan Main Art yaitu, Major Art terdiri dari : architecture, sculpture, painting, music, and poetry. Sedangkan Main Art terdiri dari : furniture, textiles, ceramics, etc. (Chambers’s Encyclopedia, Vol.1 : 638-645)
Di Indonesia perbedaan antara Major Art dan Minor Art sangat terihat nyata, dalam hal ini seni lukis selalu menjadi fokus utama dalam kehidupan seni rupa di Indonesia, padahal jika kita lihat bidang seni rupa yang tergolong Minor Art seperti seni kriya maupun tekstil juga tidak kalah menarik untuk digeluti. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan seni lukis juga tidak terlepas dari perkembangan seni-seni yang lain.
Selain masalah kesenjangan antara Major Art dan Minor Art, masalah pelaku seni rupa (perajin) juga menjadi penghalang berkembangnya kedua golungan seni rupa tersebut. Perajin Major Art yang biasanya mereka tidak mau disebut sebagai perajin, mereka biasanya menyebut perupa. Padaha jika kita lihat penyebutan tersebut sama saja karena kedua golongan seni rupa tersebut sama-sama menghasilkan karya seni, namun biasanya para perupa Major Art tidak mau disamakan penyebutannya dengan perajin Minor Art. Mereka mengangap golongan perupa Major Art lebih tinggi dari pada perupa Minor Art. Akan tetapi jika dilihat dari hasil karya yang dihasilkan, belum tentu perupa Major Art lebih bagus karyanya dibandingkan dengan perupa Minor Art. Bahkan kebanyakan hasil karya perupa Minor Art jauh lebih bagus daripada hasil karya perupa Major Art, karena cara dan teknik yang mereka gunakan lebih rumit dan membutuhkan kesabaran serta proses yang lama. Jika dibandingkan dengan hasil karya perupa Major Art yang kebanyakan hanya menginginkan yang praktis dan asal jadi saja, mereka kadang melupakan bagaimana karya seni itu sebenarnya harus dikerjakan, sedangkan para perupa Minor Art mereka berkarya benar-benar tulus dari hati.
Kesenjangan tersebut seharusnya bisa diatasi karena mengingat manusia tidak bisa terlepas dari karya seni. Seni merupakan salah satu bagian dari kehidupan, di mana ada Major Art di situ harus ada Minor Art. Seharusnya keduanya bisa berjalan seimbang. Khususnya di Indonesia, karena Indonesia memiliki beragan budaya serta karya seni sehingga Major Art maupun Minor Art harusnya bisa saling mendukung dan berjalan seimbang antara satu dengan yang lain. Kita harus menyadari, tidak selamanya kita harus mengacu pada teori seni rupa Barat yang memisahkan antara Seni Major Art dan Minor Art. Kita harus membuktikan bahawa Major Art dan Minor Art bisa berjalan seimbang, Jika Major Art bisa terkenal dan menjadi seni yang utama maka tidak menutup kemungkinan bidang seni rupa Minor Art seperti seni kriya dan tekstil juga bisa terkenal dan menjadi yang utama seperti halnya seni lukis.
Selain itu, cara untuk memutus kesenjanagn tersebut juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan bidang teknologi yang sekarang semakin maju dan berkembang di Indonesia. Dengan menggunakan Website atau jejaring sosial lainnya kita bisa membawa perupa-perupa Minor Art masih belum dikenal nama serta hasil karyanya agar bisa masuk ke dunia seni rupa modern. Dengan begitu selain memajukan seni rupa di Indonesia, kehidupan perekonomianpun terbantu. Karena kita dapat melihat selama ini para perupa Minor Art kehihupan ekonominya masih tergolong sederhana, padahal hasil karya mereka sangat berkualitas namun karena kurangnya pengetahuan serta perbandingan sehingga mereka tidak tahu bagaimana cara masuk ke pasar seni Iternasional dan orang bisa dengan murah mendapatkan karya seni yang berkualitas tersebut. Berbeda dengan perupa Major Art, dengan karya seni yang sederhana saja mereka sudah bisa mendapatkan hasil penjualan yang memuaskan karena mereka sudah masuk ke pasar Internasional.
Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, sebagai perupa maupun penikmat seni sudah sepatutnya kita sadar dan mulai menggugurkan sedikit demi sedikit tentang teori seni rupa barat yang beredar di kehidupan seni rupa di Indonesia. Karena pada hakikatnya Major Art dan Minor Art tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak akan ada lagi kata Minor Art sebagai “seni remeh” atau “seni tidak dianggap”.

Thanks For Reading :)